Kapitalisme dalam Islam

Sebagai salah satu mahzab ekonomi, kapitalisme seringkali diidentikkan sebagai hasil pemikiran dunia barat. Kapitalisme pada prinsipnya merupakan sistem ekonomi yang menyerahkan mekanisme kegiatan perekonomian kepada individu–individu (seringkali disebut swasta) untuk mengontrol dan memperbanyak kekayaan dan harta miliknya. Adam Smith dengan laizze faire-nya (biarkan saja – bahasa Prancis) merupakan ekonom yang berpendapat agar setiap orang diberi kebebasan dalam menyelenggarakan kegiatan ekonomi. Menurut Smith, kebebasan merupakan “cara” paling ideal bagi penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang muaranya berada pada kemakmuran individu. Sampai disini jelaslah bahwa harta dan kekayaan pribadi dapat dianggap sebagai “ruhnya” kapitalisme, karena harta dan kekayaan pribadi merupakan hulu sekaligus hilir yang menyertai kapitalisme. 1) Sebagai hulu karena harta dan kekayaan pribadi merupakan kepentingan satu-satunya yang melahirkan kapitalisme. 2) Sekaligus hilir, karena bertambahnya harta dan kekayaan pribadi merupakan tujuan kapitalisme. Ruh kapitalisme tersebut, dalam pandangan barat, disebut sebagai property right.
Jika ditilik dalam islam, agama profetik-monoteistik tersebut tidak secara spesifik memperkenalkan konsep ekonomi tertentu. Akan tetapi, ada banyak ayat dalam Al Quran yang mengindikasikan mengenai kegiatan ekonomi, seperti jual beli, hutang dan pinjaman (QS. 2 : 282), riba (QS. 2 : 275), dan zakat (QS. 9 : 103). Property right sebagai ruhnya kapitalisme yang lahir pada abad ke 15, justru sudah dikenal dalam agama islam sejak abad ke 7. Secara tersirat dalam QS. 62 : 10 dan 73 : 20, umat islam didorong untuk berusaha mencari dan mengumpulkan harta kekayaan. Bahkan jihad fi sabillah disandangkan kepada orang yang bekerja mencari serta mengumpulkan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Dalam konteks dorongan manusia untuk mencari nafkah, Al Qur’an berpandangan bahwa kerja adalah ukuran yang menentukan posisi dan status seseorang dalam kehidupan. Dengan bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya maka seseorang akan bertambah martabat serta kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Terlebih untuk tindakan mengemis, dianggap sebagai kehinaan baik dalam pandangan manusia maupun dihadapan Allah SWT. Oleh karena pentingnya untuk bekerja bagi umat islam, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.
Disamping dorongan manusia untuk mencari nafkah, islam juga menaruh perhatian dalam memerangi kemiskinan. Dalam Al Qur'an kata miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai 14 kali. Allah SWT berfirman "berikanlah makan kepada orang yang lagi faqir" (QS. 22 : 8). Selain ayat tersebut, dalam Al Qur’an masih banyak ayat-ayat lain yang mengatakan untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin. Untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin, islam mengenalkan dua metode, yaitu zakat dan sedekah. Perbedaan keduanya didasarkan pada waktu, untuk zakat ada ketentuan waktu pelaksanaannya, sedangkan sedekah adalah sebaliknya. Menurut pandangan islam, kemiskinan memiliki dampak yang berbahaya. Panutan umat islam, Nabi Muhammad SAW pernah memperingatkan kaum muslimin dengan bersabda “kefakiran dapat mengakibatkan kekufuran”. Peringatan tersebut bertujuan agar umat islam menjaga diri serta saudaranya dari kemiskinan karena kemiskinan yang menimpa seseorang atau suatu bangsa akan berakibat rusaknya aqidah, moral serta retaknya keluarga dan masyarakat bahkan negara.
Dengan banyaknya dorongan bagi umat islam untuk bekerja serta memerangi kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa spirit kapitalisme pada dasarnya terkandung dalam ajaran Nabi Muhammad SAW. Spirit kapitalisme tersebut dimanifestasikan dalam bentuk usaha perdagangan. Sebagaimana diketahui, mata pencaharian (mencari nafkah) yang memiliki kedudukan istimewa dalam islam adalah usaha perdagangan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW panutan sempurna umat islam, dikenal sebagai pedagang yang brilian dan memiliki reputasi yang bagus. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al-Ashbahani, Nabi Muhammad SAW bersabda ”Sesungguhnya sebaikbaik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit” (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani). Dalam hadist lain, Nabi Muhammad SAW bersabda “Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).
Selama lebih dari 20 tahun menjalankan usaha perdagangannya, Nabi Muhammad SAW berpegang teguh pada dua prinsip dasar, yakni jujur dan benar. Kedua prinsip itulah yang kemudian melekat pada diri Muhammad sebagai Al Amin dan As Shidiq. Pada masa sekarang, dalam dunia business dikenal adanya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang dikenal sebagai Good Corporate Governance (GCG), yang meliputi accountability (akuntabilitas),  fairness (adil), transparency (transparan), dan responsibility (bertanggungjawab). Good Corporate Governance (GCG) merupakan pedoman dasar bagi setiap pelaku ekonomi dalam menjalankan kegiatannya guna mencari keuntungan yang bermuara pada kemakmuran individu sebagai golden goal-nya.
Apabila disandingkan, maka dapat segera diketahui bahwasanya kedua prinsip perdagangan Nabi Muhammad SAW sudah mengakomodir pedoman Good Corporate Governance (GCG). Pertama, prinsip jujur apabila di breakdown dapat meliputi transparency dan accountability sebagaimana dimuat dalam pedoman Good Corporate Governance (GCG). Kejujuran Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan usaha perdagangan dapat diketahui dengan tidak dilakukannya praktek-praktek perdagangan yang mengandung unsur penipuan, judi, dan ketidakpastian. Kedua, prinsip benar jika diturunkan meliputi fairness dan responsibility. Dalam prinsip benar, Nabi Muhammad SAW menjalankan perdangangan yang tidak terdapat unsur riba, tidak melakukan eksploitasi dan pengambilan untung yang berlebihan. Justru Nabi Muhammad SAW mempelopori standardisasi timbangan dan ukuran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pada hakekatnya telah meletakkan prinsip-prinsip sistem manajemen bisnis (kapitalis) modern. Maka tidak mengherankan jika usaha perdagangan Nabi Muhammad SAW mampu melakukan ekspansi hingga Yaman, Syria, Busrah, Iraq, Yordania dan kota-kota perdagangan di jazirah Arab.
Oleh karena itu, pada dasarnya islam sejak awal kelahirannya sudah mengenal kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan berbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam. Salah satu bukti kemajuan ekonomi kapitalis pada masa kejayaan islam adalah pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas. Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan. Tidak mengherankan jika ilmuwan barat menyebut kota-kota semacam Granada, Cordoba, Baghdad, Damaskus dan kota-kota besar Islam lainnya adalah sama dengan Paris, London, atau Washington pada masanya. Mereka adalah kota-kota metropolitan dan pusat-pusat kapitalisme dunia.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip property right sebagai ruhnya kapitalisme yang diklaim sebagai hasil pemikiran dunia barat pada abad ke 15 sesungguhnya sudah dikumandangkan islam sejak abad ke 7 melalui ajaran Nabi Muhammad SAW. Dorongan bekerja mencari nafkah dan memberantas kemiskinan merupakan fakta adanya spirit kapitalisme dalam islam. Masa kejayaan islam dengan corak ekonomi kapitalisme membuktikan prinsip Al Amin dan As shidiq dari zaman Nabi Muhammad SAW merupakan pondasi utama  kapitalisme dalam islam dan didalamnya sudah mengandung nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG) yang baru diperkenalkan oleh dunia barat pada akhir tahun 90-an.
Berpijak pada kesempurnaan kapitalisme dalam islam, maka sudah seharusnya umat islam terdorong mencari harta kekayaan sebanyak-banyak dengan tetap memegang teguh prinsip Al Amin dan As Shidiq. Jika itu tidak dilakukan, nampaknya diperlukan Umar bin Khaththab modern guna memberikan ketegasan bahwa ”hukumnya wajib bagi tiap-tiap individu islam untuk mencari sebanyak mungkin karunia Allah SWT di dunia !”.

Penyusun : Arvie Johan, jamaah Masjid Nurul Firdaus Jatinom.

Artikel Terkait

0 balasan:

Posting Komentar